Asamkumbang Bayang Pesisir Selatan: Sebuah kenangan akan kampung halaman

Aldo Zirsov
6 min readSep 19, 2022

--

Sulit untuk tidak bersikap sentimental saat menemukan buku perihal kampung halaman, sebab akan langsung terbayang rumah tua disana, foto masa lalu dan ingatan akan orang-orangnya, ibu bapak, kakek nenek, saudara dan karib kerabat lainnya, serta aktivitas saat pulang kampung semacam mandi di sungai, bermain di sawah atau ladang, mencari buah-buahan, atau sekadar bertandang dari satu rumah saudara ke rumah saudara lainnya.

Saya lahir di ibukota propinsi, tapi keluarga besar kedua orang tua berasal dari sana, walau ibunda numpang lahir di Mersam saat kakek kami bertugas sebagai pegawai kolonial belanda di wilayah Jambi. Minimal 2 kali setahun atau jika ada hari libur panjang, kami sekeluarga akan selalu pulang kampung, yang berjarak 2 jam perjalanan dari Kota Padang. Tepatnya bernama Kampung Asamkumbang, Kenagarian Puluik-Puluik, sekarang masuk Kecamatan Bayang Utara (dahulunya hanya Kec. Bayang), Kab. Pesisir Selatan Sumatera Barat.

Kenagarian dan kampung kami ini sekarang lebih dikenal karena banyaknya obyek wisata dan pemandangan alam yang bagus, diantaranya Air Terjun Bayang Sani, satu diantara banyak air terjun yang ada disana, dan Jembatan Aka, yang sudah berumur lebih dari 100 tahun, terbentang melintasi sungai Batang Bayang, terbentuk dari jalinan akar 2 pohon beringin yang berada di kedua sisi sungai dan air yang mengalir dibawahnya berasal dari Danau Diatas Kabupaten Solok.

Dahulunya kampung kami ini, sejak zaman Belanda dan Jepang justru dikenal sebagai penghasil para ulama, tentara dan polisi, jaksa dan hakim, selain tentunya banyak pedagang dan saudagar yang ulet. Bahkan pahlawan nasional Indonesia Iljas Jacoeb juga berasal dari kampung ini, dan sampai saat ini satu-satunya pahlawan nasional asal Kabupaten Pesisir Selatan Sumbar. Kemunculan banyak tokoh dan saudagar ini tidak terlepas dari adanya sekolah Belanda di kampung ini, serta Surau Buyung Mudo Puluik-Puluik sebagai sentra pendidikan Islam yang terkenal di wilayah selatan Sumbar sejak dahulu. Kakek saya dari pihak Ibu menamatkan pendidikan dasarnya di sekolah Belanda ini, kemudian melanjutkan ke pendidikan berikutnya sampai menjadi pegawai Belanda, dilanjutkan masa Jepang dan kemudian menjadi kepala polisi di pelbagai wilayah di Sumatera Tengah tempo itu.

Adanya sekolah Belanda di kampung ini menandakan pentingnya wilayah ini bagi Belanda, karena secara geografis dan jarak, kampung kami ini jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Kota Padang, cukup jauh juga dari Ibukota Kabupaten Pesisir Selatan, agak menjorok ke dalam naik ke perbukitan, serta tidak berada di jalur utama jalan raya yang menghubungkan kota-kota utama di wilayah Sumatera Barat saat itu, bahkan ujung akhir jalan kampung kami ke arah bukit malah buntu tidak bisa dilalui kendaraan, hanya bisa ditempuh berjalan kaki untuk sampai ke Kabupaten Solok di balik bukit.

Selain pemandangan alam yang bagus dari dulu wilayah Bayang ini secara umum dikenal sebagai penghasil rempah-rempah, terutama merica, lada, pala, dan kayu manis. Bahkan ada lelucon yang dilontarkan Deddy Arsya, pengajar di IAIN Bukittinggi, sejarahwan cum sastrawan asal Bayang, orang-orang tua disana dulu pernah menyebut bahwa saat jaya-jayanya dan masa panen, penduduk di Bayang, saat akan dan selesai makan di lapau atau kedai akan mencuci tangannya dengan limun, semacam minuman sirup dalam botol, sebagai sebuah perlambang kemewahan dan kemakmuran penduduk kampung zaman itu.

Bayang selain sebagai sentra pendidikan Islam yang kuat, sejak abad ke 17 dan 18 juga terkenal sebagai wilayah yang tidak mau takluk kepada kekuasaan Kesultanan Aceh, penguasa VOC dan kaum pendatang lainnya yang berniat menjajah atau menguasai wilayah penghasil rempah-rempah tersebut. Digerakkan oleh pemuka adat dan ulama, pernah terjadi pergolakan dan Perang Bayang 100 tahun sejak awal abad 17 untuk menolak kehadiran kekuatan asing, baik kerajaan Aceh dan VOC di wilayah pesisir Sumatera saat itu. Bahkan tercatat ada suatu tipu muslihat yang diluncurkan, yang dikenal dengan “Sandiwara Batangkapeh” untuk mengusir Aceh dan VOC sekaligus dari wilayah tersebut. Perlawanan para pemuka adat dan ulama asal Bayang tersebut yang menjadi pembeda dengan para pemuka-pemuka adat wilayah pesisir lainnya yang sebagian menyatakan takluk dan bersedia dibawa ke Batavia oleh VOC, sehingga menghasilkan Perjanjian Painan tahun 1663. Perlawanan penduduk Bayang masih berlangsung sampai permulaan abad 18.

PRRI menjadi titik balik yang mengubah wajah kampung halaman kami, Asamkumbang Kenagarian Puluik-Puluik dan Bayang secara umum. Banyak tokoh masyarakat dan ulama yang menjadi korban tentara pusat saat berlangsungnya peristiwa PRRI mulai tahun 1957 sd 1961.

Perubahan itu tidak kunjung membaik, bahkan saat Soekarno jatuh, dan berlanjut era zaman Orde Baru. Bayang kemudian mundur perlahan sebagai wilayah kaya yang pernah terkenal sebagai penghasil rempah, para pedagang dan tokoh masyarakat. Sarana dan prasarana kampung dan nagari sempat menjadi yang terburuk di era 1970an dan 1980an, jalan kampung rusak jarang diperbaiki, transportasi tidak memadai menuju kesana, gairah menjadi petani dan pedagang padam, anak-anak muda di kampung tidak lagi tertarik melanjutkan ke pendidikan tinggi, atau menekuni profesi yang dulu dijabat kakek nenek atau ayah ibu mereka. Keinginan kaum muda setamat sekolah hanya secepatnya merantau meninggalkan kampung halaman, menjadi pedagang kaki lima atau pekerjaan kecil apapun yang cepat menghasilkan uang buat penyambung hidup, atau merantau tanpa terpikir pulang kampung.

Jika anda berkunjung ke Bayang dan kampung halaman kami saat ini, selain memang masih menyisakan pemandangan alam yang bagus, waktu akhir pekan biasanya diramaikan suara motor dan mobil wisatawan dari kota lain yang terdengar melintas menuju obyek wisata, tapi yang anda akan temukan dan lihat adalah rumah-rumah tua yang sudah (menunggu) roboh, dihuni oleh orang-orang tua yang menunggu kabar anak kemenakan dari rantau, penduduk yang mengusahakan sawah dan ladang untuk sekadar ada yang dihasilkan untuk bertahan hidup , sambil berharap kiriman uang datang dari rantau, pasar (pekan) mingguan yang tidak lagi ramai, wajah pelajar yang ingin cepat tamat sekolah, yang ingin bergegas pergi, terbayang rantau nan jauh dalam pikirannya, suasana pagi dan gelap malam yang lebih didominasi hening dan sepi. Ya kampung kami sepi dan lengang di hari-hari biasa.

Ibarat roda pedati berputar, sesekali diatas, sekali di bawah, dan saat ini kami berharap roda itu berputar keatas kembali, entah kapan.

Pepatah Minangkabau

“Sakali aia gadang, sakali tapian barubah”.

Informasi buku:

Emral Djamal Dt. Rajo Mudo, Bayang Nan Tujuah, Koto Nan Salapan: Bayang Salingka Nagari, Paperback, Salimbado Art Studio, Padang, 2014, 215 halaman.

--

--

Aldo Zirsov
Aldo Zirsov

Written by Aldo Zirsov

A wanderer, solitude man with strange minds

No responses yet